Salah satu wajah pesisir Kota Makassar kini (Foto: Kamaruddin Azis)

I. Pendahuluan
Latar Belakang

Dua dekade terakhir issu Kelautan menjadi tema sentral pembangunan regional dan internasional. Di dalam negeri, sejak Era Gus Dur, inisiasi Departemen Eksplorasi Laut hingga berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di era SBY menjadi bukti bahwa Pemerintah berharap pengelolaan Kelautan yang lebih baik. Pada tingkat makro, Deklarasi Cancun 2010 di Mexico yang menempatkan issu “Climate Changes” serta perubahan muka air laut sebagai pokok bahasan menjadi bukti bahwa issu Kelautan mulai menyita perhatian.

Pada dimensi issu, deforestasi bakau, kerusakan terumbu karang, hingga misleading arah kebijakan pengelolaan pesisir dan laut semakin tak terkendali. Perubahan rupa pantai hingga kerentanan ekonomi warga menambah beban sosial. Berbagai upaya ditempuh pihak terkait. Pemerintah misalnya, berdasarkan UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, melengkapinya dengan pendirian dinas Tata Ruang, di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. LSM dan perusahaan (corporate) giat mendorong inisiatif warga untuk mempertahankan keutuhan sumberdaya setempat namun dirasa belum optimal melalui dana Corporate Social Responsibilty (CSR) dengan menanam bakau dan upaya konservasi lainnya.

Selain tantangan keberlanjutan fungsi ekologi pesisir dan laut, pada aspek lain, terjadi peningkatan jumlah populasi penduduk sehingga tekanan ke lingkungan juga semakin besar. Pemerintah bukannya menjadi mercusuar pengelolaan malah menjadi pemicu kerentanan ekologi dengan mendukung pembangunan infrastruktur wilayah pesisir yang justeru jadi sumber banjir dan abrasi pantai. Ada kontradiksi antara harapan dan realitas pengelolaan.

Makassar adalah salah satu contoh wilayah “water front city” tidak luput dari persoalan di atas. Pembangunan berbagai infrastruktur yang semakin massif di beberapa titik pesisir dari wilayah Barombong hingga Tallo telah berdampak pada semakin berkurangnya akses publik baik pada pemanfaatan sumberdaya maupun ruang terbuka warga. Ikatan Sarjana Kelautan (ISLA Unhas) sebagai perkumpulan alumni Kelautan memandang perlu untuk segera memediasi titik temu pengelolaan dan penataan ruang di pesisir dan laut yang lebih baik dan berkelanjutan utamanya pada wilayah strategis seperti Kota Makassar.

Tujuan yang ingin dicapai

1.1. Meningkatkan pengetahuan peserta tentang fakta wilayah pesisir dan laut, kaitannya dengan urgensi pengelolaan pesisir dan laut khususnya di Kota Makassar

1.2. Memetakan dampak pengelolaan dan alternatif strategi tata ruang yang lebih praktis, efektif dan berkelanjutan

1.3. Munculnya gagasan konstruktif bagi pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Provinsi terkait orientasi pengelolaan dan tata ruang wilayah pesisir dan laut yang lebih efektif.

II. Pelaksanaan

Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Ikatan Sarjana Kelautan (ISLA) http://www.isla-unhas.org Unhas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Wilayah, Tata Ruang dan Informasi Spasial (WITARIS Universitas Hasanuddin) dan Harian Tribun Timur Makassar.

Hari/tanggal: Senin / 13 Juni 2011
Pukul : 15.00 – 18.00 wita
Tempat: Ruang Meeting Tribun Timur, Jalan Cendrawasih

III. Narasumber

• Prof. Dr. Sumbangan Baja, (Ketua WITARIS) “Kajian Umum Tata Ruang Wilayah”
* Dr. Nurjannah Nurdin, ST, M.Sc (Dosen Kelautan Unhas alumni Post Doc University of Tokyo): Topik, ”Perspektif dan Implementasi Pengelolaan Pesisir dan Laut berbasis Penataan Ruang”
* Andi Muhammad Ibrahim, ST, M.Sc (Aktivis LSM, alumni University of Twente, Departement of Natural Resources Management, Faculty of Geoinformation Science and Earth Observation Topik, ”Pengelolaan Wilayah Pesisir berbasis Masyarakat”

IV. Peserta

Pertemuan ini akan melibatkan 30*) orang peserta yang terdiri dari utusan LSM, mahasiswa Ilmu Kelautan dan Perikanan, pemerhati issu pesisir, blogger dan pemerhati tata ruang kota Makassar.